Rabu, 21 November 2012

euthanasia dan hubungannya dengan kode etik keperawatan



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan tenologi di bidang medik, kehidupan seorang pasien bisa diperpanjang dan hal ini seringkali membuat para dokter dihadapkan pada sebuah dilema untuk memberikan bantuan tersebut apa tidak dan jika sudah terlanjur diberikan bolehkah untuk dihentikan.Tugas seorang dokter adalah untuk menolong jiwa seorang pasien, padahal jika dilihat lagi hal itu sudah tidak bisa dilanjutkan lagi dan jika hal itu diteruskan maka kadang akan menambah penderitaan seorang pasien. Penghentian pertolongan tersebut merupakan salah satu bentuk euthanasia. Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian kedalam tiga jenis yaitu Orthothansia, merupakan kematian yang terjadi karena proses alamiah; Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar, dan Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter,
Pengertian euthanasia ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negative, dan biasanya tindakan ini dilakukan oleh kalangan medis. Sehingga denagn hal demikian akan muncul yang namanya euthanasia positif dan euthanasia negative.
Lima tahun setelah itu disahkan, eutanasia di Belanda tampaknya menurun dalam mendukung sedasi paliatif, dimana pasien yang sakit parah disimpan dalam keadaan koma sementara keputusan yang dapat mempersingkat hidup mereka dibuat, seperti penarikan cairan. Sekarang lobi euthanasia dan anggota parlemen memperingatkan bahwa sedasi paliatif, yang tidak melibatkan kewajiban pelaporan yang sama seperti euthanasia tidak, tidak harus menjadi "jalan pintas" nyaman untuk mengakhiri kehidupan seseorang yang sedang sekarat. Pemerintah penelitian baru yang disponsori yang mengevaluasi efek dari hukum euthanasia 2002 menunjukkan bahwa jumlah kasus euthanasia jatuh dari 3500 (2,6% dari kematian) pada 2001-2325 (1,7%) pada tahun 2005. Sebaliknya jumlah kasus sedasi paliatif meningkat dari 8500 (5,6%) menjadi 9700 (7,1%). Jumlah permintaan untuk bunuh diri dan euthanasia dibantu jatuh 9700-8400. Hukum Belanda membutuhkan dokter untuk melaporkan euthanasia kepada komite yang menilai apakah persyaratan hukum telah dipenuhi. Pasien harus mengalami penderitaan putus asa dan tak tertahankan dan telah membuat permintaan sukarela untuk euthanasia, dan pendapat kedua harus telah ditemukan.
Para peneliti, yang mempertanyakan dokter tentang lebih dari 5000 kematian, menyimpulkan bahwa hukum 2002 telah lebih atau kurang mencapai tujuannya untuk menciptakan kepastian hukum dan transparansi yang lebih besar dan kontrol dan meningkatkan kualitas pelayanan. Pelaporan kasus telah meningkat tajam, dari 54% menjadi 80%. Sebagian besar kasus dilaporkan melibatkan penggunaan morfin, dan dokter tidak menganggap tindakan mereka akan selalu Para peneliti menggunakan jawaban kuesioner rahasia untuk memperkirakan jumlah kasus tidak dilaporkan "ending hidup.".
Euthanasia masih  hangat  diperbincangkan sampai saat ini. Mulai dari sudut pandang etik sampai sudut pandang berbagai agama di Indonesia. Euthanasia menurut sebagian besar orang masih dianggap tabu dan menyalahi aturan atau etik yang ada. Di lihat dari sudut pandang agama pun Euthanasia memang masih diperdebatkan oleh para pemuka agama di Indonesia. Para pemuka agama ini biasanya memperdebatkan tentang hukum – hukum agama yang berlaku.
Euthanasia sebenarnya di kategorikan menjadi dua jenis yang pertama adalah Euthanasia Aktif. Euthanasia Aktif adalah suatu tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan memberikan suntikan maupun melepaskan alat-alat pembantu medika . Sedangkan kategori yang kedua di sebut Euthanasia Pasif. Euthanasia Pasif ini adalah suatu tindakan membiarkan pasien/penderita yang dalam keadaan tidak sadar (comma), karena berdasarkan pengamalan maupun ukuran medis sudah tidak ada harapan hidup, atau tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi padanya.
Faktor – faktor  Euthanasia sendiri sebenarnya ada bermacam – macam. Faktor yang pertama adalah Faktor kemanusiaan . Maksudnya adalah Euthanasia tersebut dilakukan oleh seorang dokter karena merasa kasihan terhadap penderitaan pasiennya yang berkepanjangan yang secara medis sulit  untuk disembuhkan. Di sini dokter tersebut memutuskan sendiri tindakan yang akan dilakukannya menurut pertimbangan kesehatan pasien. Sedangkan faktor yang kedua adalah Faktor Ekonomi . Maksud dari faktor ini adalah Euthanasia dilakukan karena faktor ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan apabila pasien terlalu lama dirawat dirumah sakit. Jadi pada kasus ini keluarga pasien memang sudah tidak mampu menanggung biaya rumah sakit karena pasien sudah terlalu lama dalam masa komanya. Pada kondisi ini pihak keluargalah yang meminta agar alat – alat penyokong kehidupan pasien dicabut.
Euthasia sebenarnya memang merupakan kasus kontroversial yang masih banyak diperdebatkan oleh berbagai kalangan. Jika dilihat dari dua kategori Euthanasia yang sudah dijabarkan diatas kita sebagai manusia tentu dapat merasakan bahwa Euthanasia kategori Euthanasia aktif pasti terdengar lebih kejam daripada Euthanasia Pasif. Di Euthanasia Aktif ini seorang dokter yang melakukannya bisa dikatakan sebagai pembunuh oleh sebagian besar orang.  Hal tersebut tentu sangat tidak enak di dengar dan dapat menurunkan martabat dokter.
Kami sebagai seorang mahasiswa keperawatan tidak menyetujui adanya fenomena Euthanasia Aktif dikarenakan hal tersebut memang tidak manusiawi, sangat kejam serta hukumnya haram dalam Agama Islam. kami sebenarnya juga kurang begitu menyukai Euthanasia Pasif, namun dibandingkan dengan Euthanasia Aktif, kategori ini lebih manusiawi.  Jika dilihat dari persepsi kami sebagai seorang calon perawat profesional kami akan lebih memilih merawat pasien dengan baik sampai sembuh atau pun sampai meninggal dengan tenang dengan cara yang wajar tanpa adanya Euthanasia karena sampai sekarang pun fenomena Euthanasia masih diperdebatkan.
1.2        Tujuan Penulisan
a.       Tujuan Umum
Untuk memperoleh gambaran secara langsung mengenai euthanasia di Indonesia.
b.      Tujuan Khusus
Untuk mengetahui hukum-hukum euthanasia di Indonesia serta bagaimana tata cara yang seharusnya dalam menangani kasus ini.
1.3        Manfaat Penulisan
a.       Manfaat untuk Akademi
1.      Menghasilkan lulusan DIII Keperawatan yang mampu menjalankan tugas dan kewajiban sesuai dengan kompetensi dan moral yang berlaku
2.      Menghasilkan lulusan DII Keperawatan yang mampu menjalankan asuhan keperawatan dengan tanggungjawab sesuai ketentuan.
b.      Manfaat untuk Profesi
1.      Memiliki pertimbangan atas dilema etik yang dialami dalam melaksanakan asuhan keperawatan.
2.      Mampu berfikir kritis dan mengadakan suatu perubahan yang logis.



c.       Manfaat untuk Masyarakat
1.      Masyarakat akan dapat mengerti pentingnya pertimbangan atas semua keputusan yang diambil dengan pertimbangan baik buruknya.
2.      Masayarakat dapat berfikir logis dengan adanya euthanasia dalam ilmu kesehatan.
1.4        Sistematika Penulisan
Makalah ini tersusun atas beberapa bab dan sub bab yang terdiri dari :
BAB IPendahuluan          : terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, Manfaat penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II   Tinjauan kasus   :  Terdiri dari pengertian euthanasia, bentuk-bentuk  Euthanasia, dan hukum euthanasia.
BAB III   Penutup            : Terdiri dari kesimpulan dan saran









BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1        Pengertian Euthanasia
Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan”. Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini adalah mercy killing (Tongat, 2003 :44). Sementara itu menurut Kamus Kedokteran Dorland euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan disengaja.
Secara bahasa, euthanasia berasal dari bahasa Yunani, eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian”. Sementara dalam fiqh Islam, euthanasia ini diistilahkan dengan qatl ar-rahmah (membunuh karena kasihan) atau taisir al-maut (mempermudah kematian).
Adapun secara istilah, maka euthanasia adalah praktik memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit -karena kasih sayang-, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif (aktif) maupun negatif (pasif).
Euthanasia biasa dilakukan dengan alasan bahwa pengobatan yang diberikan kepada pasien hanya akan memperpanjang penderitaannya. Ditambah bahwa pengobatan itu sendiri tidak akan mengurangi penyakit yang diderita yang memang sudah parah. Atau menurut perhitungan medis, penyakit itu sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau si pasien sudah tidak akan bertahan lama.
Atau bisa juga dengan alasan bahwa pihak keluarga pasien tidak mempunyai kemampuan finansial untuk membayar pengobatannya sementara walaupun pengobatan dilanjutkan juga tidak akan membawa hasil positif
2.2        Bentuk-Bentuk Euthanasia
Secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia, yaitu voluntary euthanasia (euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri karena penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan dia tidak sanggup menahan rasa sakit yang diakibatkannya); non voluntary euthanasia (di sini orang lain, bukan pasien, mengandaikan, bahwa euthanasia adalah pilihan yang akan diambil oleh pasien yang berada dalam keadaan tidak sadar tersebut jika si pasien dapat menyatakan permintaannya); involuntary euthanasia (merupakan pengakhiran kehidupan pada pasien tanpa persetujuannya).
Ada juga euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia Aktif atau Positif adalah tindakan memudahkan kematian si sakit yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat), yang biasanya berupa penyuntikan obat ke dalam tubuh pasien.
Misalnya: Ada seseorang menderita penyakit yang sangat kronis atau sudah sampai pada stadium akhir, yang disertai dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin jika si pasien tidak akan bertahan lama. Maka dokter kemudian memberinya obat (morfin atau semacamnya) dengan takaran tinggi (overdosis) yang dapat menghilangkan rasa sakitnya, akan tetapi sekaligus menghentikan pernapasannya. Sedangkan Euthanasia Pasif atau Negatif adalah tindakan menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Dimana penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian si pasien.
Penghentian pengobatan biasanya dilakukan dengan mencabut alat bantu pernafasan dari pasien yang notabene merupakan satu-satunya sebab yang membuat pasien masih hidup.
Misalnya: Ada seorang yang menderita koma dalam jangka lama, di mana otaknya sudah tidak berfungsi atau sudah mati. Secara medis, orang ini sudah tidak mungkin sembuh dan jika dia hidup maka itu hanya akan menyiksa dirinya mengingat tubuhnya sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Dan satu-satunya alasan yang membuat dia masih hidup (tentunya setelah izin Allah) adalah adanya alat bantu pernafasan yang membuat dia masih bisa bernafas. Maka melihat kenyataan seperti itu, si dokter melepaskan alat bantu pernafasan tersebut sehingga akhirnya pasien meninggal karena sudah tidak bisa bernafas.

2.3        Hukum Euthanasia
Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban tersendiri bagi komunitas hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah persoalan euthanasia akan bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra tentang legalitasnya. Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan :
Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
2.4   Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya sebagai seorang profesi dokter harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam menjalankan profesinya seorang dokter tidak boleh melakukan: Menggugurkan kandungan (abortus provocatus), mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi ( euthanasia ).
Adapun unsur-unsur dalam pengertian euthanasia dalam pengertian di atas adalah:
1.      Berbuat seauatu atau tidak berbuat sesuatu,
2.      Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien,
3.      Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan,
4.      Atas permintaan pasien dan keluarganya,
5.      Demi kepentingan pasien dan keluarganya. 

BAB 3
PENUTUP

3.1        Kesimpulan
Euthanasia adalah praktik memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit -karena kasih sayang-, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif (aktif) maupun negatif (pasif).
Bentuk-bentuk Euthanasia secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia, yaitu voluntary euthanasia (euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri karena penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan dia tidak sanggup menahan rasa sakit yang diakibatkannya); non voluntary euthanasia (di sini orang lain, bukan pasien, mengandaikan, bahwa euthanasia adalah pilihan yang akan diambil oleh pasien yang berada dalam keadaan tidak sadar tersebut jika si pasien dapat menyatakan permintaannya); involuntary euthanasia (merupakan pengakhiran kehidupan pada pasien tanpa persetujuannya). Ada juga Euthanasia Aktif atau Positif adalah tindakan memudahkan kematian si sakit yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat), yang biasanya berupa penyuntikan obat ke dalam tubuh pasien. Euthanasia Pasif atau Negatif adalah tindakan menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Dimana penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian si pasien.
Hukum Euthanasia Aktif (Positif) dengan semua bentuknya adalah haram dan merupakan dosa besar. Hukum euthanasia pasif adalah tindakan menghentikan pengobatan, karena diyakini (atau dugaan besar) pengobatan itu sudah tidak bermanfaat dan hanya akan menambah kesusahan bagi pasien.

3.2        Saran
Saran yang dapat kami berikan yaitu :
1.      Bagi teman-teman janganlah kalian melakukan suntik mati, karena itu dilarang oleh agama sesuai dengan (Q.S Al-an’am: 151) yang berbunyi :  “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”.
2.      Untuk akademik seharusnya lebih dapat memfasilitasi mahasiswa/i dengan referensi-referensi buku yang terbaru agar pengetahuan yang di dapat juga terbaru.
3.      Untuk masyarakat setelahnya dapat lebih mengembangkan pengetahuan yang telah di dalam serta dapat meningkatkan keingintahuan akan suatu hal.





1 komentar: