Rabu, 21 November 2012

euthanasia dan hubungannya dengan kode etik keperawatan



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan tenologi di bidang medik, kehidupan seorang pasien bisa diperpanjang dan hal ini seringkali membuat para dokter dihadapkan pada sebuah dilema untuk memberikan bantuan tersebut apa tidak dan jika sudah terlanjur diberikan bolehkah untuk dihentikan.Tugas seorang dokter adalah untuk menolong jiwa seorang pasien, padahal jika dilihat lagi hal itu sudah tidak bisa dilanjutkan lagi dan jika hal itu diteruskan maka kadang akan menambah penderitaan seorang pasien. Penghentian pertolongan tersebut merupakan salah satu bentuk euthanasia. Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian kedalam tiga jenis yaitu Orthothansia, merupakan kematian yang terjadi karena proses alamiah; Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar, dan Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter,
Pengertian euthanasia ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negative, dan biasanya tindakan ini dilakukan oleh kalangan medis. Sehingga denagn hal demikian akan muncul yang namanya euthanasia positif dan euthanasia negative.
Lima tahun setelah itu disahkan, eutanasia di Belanda tampaknya menurun dalam mendukung sedasi paliatif, dimana pasien yang sakit parah disimpan dalam keadaan koma sementara keputusan yang dapat mempersingkat hidup mereka dibuat, seperti penarikan cairan. Sekarang lobi euthanasia dan anggota parlemen memperingatkan bahwa sedasi paliatif, yang tidak melibatkan kewajiban pelaporan yang sama seperti euthanasia tidak, tidak harus menjadi "jalan pintas" nyaman untuk mengakhiri kehidupan seseorang yang sedang sekarat. Pemerintah penelitian baru yang disponsori yang mengevaluasi efek dari hukum euthanasia 2002 menunjukkan bahwa jumlah kasus euthanasia jatuh dari 3500 (2,6% dari kematian) pada 2001-2325 (1,7%) pada tahun 2005. Sebaliknya jumlah kasus sedasi paliatif meningkat dari 8500 (5,6%) menjadi 9700 (7,1%). Jumlah permintaan untuk bunuh diri dan euthanasia dibantu jatuh 9700-8400. Hukum Belanda membutuhkan dokter untuk melaporkan euthanasia kepada komite yang menilai apakah persyaratan hukum telah dipenuhi. Pasien harus mengalami penderitaan putus asa dan tak tertahankan dan telah membuat permintaan sukarela untuk euthanasia, dan pendapat kedua harus telah ditemukan.
Para peneliti, yang mempertanyakan dokter tentang lebih dari 5000 kematian, menyimpulkan bahwa hukum 2002 telah lebih atau kurang mencapai tujuannya untuk menciptakan kepastian hukum dan transparansi yang lebih besar dan kontrol dan meningkatkan kualitas pelayanan. Pelaporan kasus telah meningkat tajam, dari 54% menjadi 80%. Sebagian besar kasus dilaporkan melibatkan penggunaan morfin, dan dokter tidak menganggap tindakan mereka akan selalu Para peneliti menggunakan jawaban kuesioner rahasia untuk memperkirakan jumlah kasus tidak dilaporkan "ending hidup.".
Euthanasia masih  hangat  diperbincangkan sampai saat ini. Mulai dari sudut pandang etik sampai sudut pandang berbagai agama di Indonesia. Euthanasia menurut sebagian besar orang masih dianggap tabu dan menyalahi aturan atau etik yang ada. Di lihat dari sudut pandang agama pun Euthanasia memang masih diperdebatkan oleh para pemuka agama di Indonesia. Para pemuka agama ini biasanya memperdebatkan tentang hukum – hukum agama yang berlaku.
Euthanasia sebenarnya di kategorikan menjadi dua jenis yang pertama adalah Euthanasia Aktif. Euthanasia Aktif adalah suatu tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan memberikan suntikan maupun melepaskan alat-alat pembantu medika . Sedangkan kategori yang kedua di sebut Euthanasia Pasif. Euthanasia Pasif ini adalah suatu tindakan membiarkan pasien/penderita yang dalam keadaan tidak sadar (comma), karena berdasarkan pengamalan maupun ukuran medis sudah tidak ada harapan hidup, atau tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi padanya.
Faktor – faktor  Euthanasia sendiri sebenarnya ada bermacam – macam. Faktor yang pertama adalah Faktor kemanusiaan . Maksudnya adalah Euthanasia tersebut dilakukan oleh seorang dokter karena merasa kasihan terhadap penderitaan pasiennya yang berkepanjangan yang secara medis sulit  untuk disembuhkan. Di sini dokter tersebut memutuskan sendiri tindakan yang akan dilakukannya menurut pertimbangan kesehatan pasien. Sedangkan faktor yang kedua adalah Faktor Ekonomi . Maksud dari faktor ini adalah Euthanasia dilakukan karena faktor ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan apabila pasien terlalu lama dirawat dirumah sakit. Jadi pada kasus ini keluarga pasien memang sudah tidak mampu menanggung biaya rumah sakit karena pasien sudah terlalu lama dalam masa komanya. Pada kondisi ini pihak keluargalah yang meminta agar alat – alat penyokong kehidupan pasien dicabut.
Euthasia sebenarnya memang merupakan kasus kontroversial yang masih banyak diperdebatkan oleh berbagai kalangan. Jika dilihat dari dua kategori Euthanasia yang sudah dijabarkan diatas kita sebagai manusia tentu dapat merasakan bahwa Euthanasia kategori Euthanasia aktif pasti terdengar lebih kejam daripada Euthanasia Pasif. Di Euthanasia Aktif ini seorang dokter yang melakukannya bisa dikatakan sebagai pembunuh oleh sebagian besar orang.  Hal tersebut tentu sangat tidak enak di dengar dan dapat menurunkan martabat dokter.
Kami sebagai seorang mahasiswa keperawatan tidak menyetujui adanya fenomena Euthanasia Aktif dikarenakan hal tersebut memang tidak manusiawi, sangat kejam serta hukumnya haram dalam Agama Islam. kami sebenarnya juga kurang begitu menyukai Euthanasia Pasif, namun dibandingkan dengan Euthanasia Aktif, kategori ini lebih manusiawi.  Jika dilihat dari persepsi kami sebagai seorang calon perawat profesional kami akan lebih memilih merawat pasien dengan baik sampai sembuh atau pun sampai meninggal dengan tenang dengan cara yang wajar tanpa adanya Euthanasia karena sampai sekarang pun fenomena Euthanasia masih diperdebatkan.
1.2        Tujuan Penulisan
a.       Tujuan Umum
Untuk memperoleh gambaran secara langsung mengenai euthanasia di Indonesia.
b.      Tujuan Khusus
Untuk mengetahui hukum-hukum euthanasia di Indonesia serta bagaimana tata cara yang seharusnya dalam menangani kasus ini.
1.3        Manfaat Penulisan
a.       Manfaat untuk Akademi
1.      Menghasilkan lulusan DIII Keperawatan yang mampu menjalankan tugas dan kewajiban sesuai dengan kompetensi dan moral yang berlaku
2.      Menghasilkan lulusan DII Keperawatan yang mampu menjalankan asuhan keperawatan dengan tanggungjawab sesuai ketentuan.
b.      Manfaat untuk Profesi
1.      Memiliki pertimbangan atas dilema etik yang dialami dalam melaksanakan asuhan keperawatan.
2.      Mampu berfikir kritis dan mengadakan suatu perubahan yang logis.



c.       Manfaat untuk Masyarakat
1.      Masyarakat akan dapat mengerti pentingnya pertimbangan atas semua keputusan yang diambil dengan pertimbangan baik buruknya.
2.      Masayarakat dapat berfikir logis dengan adanya euthanasia dalam ilmu kesehatan.
1.4        Sistematika Penulisan
Makalah ini tersusun atas beberapa bab dan sub bab yang terdiri dari :
BAB IPendahuluan          : terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, Manfaat penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II   Tinjauan kasus   :  Terdiri dari pengertian euthanasia, bentuk-bentuk  Euthanasia, dan hukum euthanasia.
BAB III   Penutup            : Terdiri dari kesimpulan dan saran









BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1        Pengertian Euthanasia
Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan”. Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini adalah mercy killing (Tongat, 2003 :44). Sementara itu menurut Kamus Kedokteran Dorland euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan disengaja.
Secara bahasa, euthanasia berasal dari bahasa Yunani, eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian”. Sementara dalam fiqh Islam, euthanasia ini diistilahkan dengan qatl ar-rahmah (membunuh karena kasihan) atau taisir al-maut (mempermudah kematian).
Adapun secara istilah, maka euthanasia adalah praktik memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit -karena kasih sayang-, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif (aktif) maupun negatif (pasif).
Euthanasia biasa dilakukan dengan alasan bahwa pengobatan yang diberikan kepada pasien hanya akan memperpanjang penderitaannya. Ditambah bahwa pengobatan itu sendiri tidak akan mengurangi penyakit yang diderita yang memang sudah parah. Atau menurut perhitungan medis, penyakit itu sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau si pasien sudah tidak akan bertahan lama.
Atau bisa juga dengan alasan bahwa pihak keluarga pasien tidak mempunyai kemampuan finansial untuk membayar pengobatannya sementara walaupun pengobatan dilanjutkan juga tidak akan membawa hasil positif
2.2        Bentuk-Bentuk Euthanasia
Secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia, yaitu voluntary euthanasia (euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri karena penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan dia tidak sanggup menahan rasa sakit yang diakibatkannya); non voluntary euthanasia (di sini orang lain, bukan pasien, mengandaikan, bahwa euthanasia adalah pilihan yang akan diambil oleh pasien yang berada dalam keadaan tidak sadar tersebut jika si pasien dapat menyatakan permintaannya); involuntary euthanasia (merupakan pengakhiran kehidupan pada pasien tanpa persetujuannya).
Ada juga euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia Aktif atau Positif adalah tindakan memudahkan kematian si sakit yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat), yang biasanya berupa penyuntikan obat ke dalam tubuh pasien.
Misalnya: Ada seseorang menderita penyakit yang sangat kronis atau sudah sampai pada stadium akhir, yang disertai dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin jika si pasien tidak akan bertahan lama. Maka dokter kemudian memberinya obat (morfin atau semacamnya) dengan takaran tinggi (overdosis) yang dapat menghilangkan rasa sakitnya, akan tetapi sekaligus menghentikan pernapasannya. Sedangkan Euthanasia Pasif atau Negatif adalah tindakan menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Dimana penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian si pasien.
Penghentian pengobatan biasanya dilakukan dengan mencabut alat bantu pernafasan dari pasien yang notabene merupakan satu-satunya sebab yang membuat pasien masih hidup.
Misalnya: Ada seorang yang menderita koma dalam jangka lama, di mana otaknya sudah tidak berfungsi atau sudah mati. Secara medis, orang ini sudah tidak mungkin sembuh dan jika dia hidup maka itu hanya akan menyiksa dirinya mengingat tubuhnya sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Dan satu-satunya alasan yang membuat dia masih hidup (tentunya setelah izin Allah) adalah adanya alat bantu pernafasan yang membuat dia masih bisa bernafas. Maka melihat kenyataan seperti itu, si dokter melepaskan alat bantu pernafasan tersebut sehingga akhirnya pasien meninggal karena sudah tidak bisa bernafas.

2.3        Hukum Euthanasia
Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban tersendiri bagi komunitas hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah persoalan euthanasia akan bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra tentang legalitasnya. Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan :
Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
2.4   Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya sebagai seorang profesi dokter harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam menjalankan profesinya seorang dokter tidak boleh melakukan: Menggugurkan kandungan (abortus provocatus), mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi ( euthanasia ).
Adapun unsur-unsur dalam pengertian euthanasia dalam pengertian di atas adalah:
1.      Berbuat seauatu atau tidak berbuat sesuatu,
2.      Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien,
3.      Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan,
4.      Atas permintaan pasien dan keluarganya,
5.      Demi kepentingan pasien dan keluarganya. 

BAB 3
PENUTUP

3.1        Kesimpulan
Euthanasia adalah praktik memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit -karena kasih sayang-, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif (aktif) maupun negatif (pasif).
Bentuk-bentuk Euthanasia secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia, yaitu voluntary euthanasia (euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri karena penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan dia tidak sanggup menahan rasa sakit yang diakibatkannya); non voluntary euthanasia (di sini orang lain, bukan pasien, mengandaikan, bahwa euthanasia adalah pilihan yang akan diambil oleh pasien yang berada dalam keadaan tidak sadar tersebut jika si pasien dapat menyatakan permintaannya); involuntary euthanasia (merupakan pengakhiran kehidupan pada pasien tanpa persetujuannya). Ada juga Euthanasia Aktif atau Positif adalah tindakan memudahkan kematian si sakit yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat), yang biasanya berupa penyuntikan obat ke dalam tubuh pasien. Euthanasia Pasif atau Negatif adalah tindakan menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Dimana penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian si pasien.
Hukum Euthanasia Aktif (Positif) dengan semua bentuknya adalah haram dan merupakan dosa besar. Hukum euthanasia pasif adalah tindakan menghentikan pengobatan, karena diyakini (atau dugaan besar) pengobatan itu sudah tidak bermanfaat dan hanya akan menambah kesusahan bagi pasien.

3.2        Saran
Saran yang dapat kami berikan yaitu :
1.      Bagi teman-teman janganlah kalian melakukan suntik mati, karena itu dilarang oleh agama sesuai dengan (Q.S Al-an’am: 151) yang berbunyi :  “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”.
2.      Untuk akademik seharusnya lebih dapat memfasilitasi mahasiswa/i dengan referensi-referensi buku yang terbaru agar pengetahuan yang di dapat juga terbaru.
3.      Untuk masyarakat setelahnya dapat lebih mengembangkan pengetahuan yang telah di dalam serta dapat meningkatkan keingintahuan akan suatu hal.





asuhan keperawatan apendisitis



BAB I
Pendahuluan


1.1  Latar belakang
Appendiks merupakan suatu bagian sepertoi kantong yang non fungsional dan terletak di bagian inferior seikum (smeltzer, 2002).
Berdasarkan data WHO tahun 2005 didapatkan bahwa jumlah penderita apendiksitis berjumlah sekitar 50 %. Adapun jumlah penderita penyakit apendiksitis pada tahun 2009 di Indonesia berjumlah sekitar 27% dari jumlah penduduk Indonesia, di Kalimantan Timur berjumlah 26% dari jumlah penduduk di Kalimantan Timur, di Samarinda berjumlah 25% dari jumlah penduduk Samarinda.
Penyakit radang usus buntu ini umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri, namun faktor pencetusnya ada beberapa kemungkinan yang sampai sekarang belum dapat diketahui secara pasti. Di antaranya faktor penyumbatan (obstruksi) pada lapisan saluran (lumen) appendiks oleh timbunan tinja/feces yang keras (fekalit), hyperplasia (pembesaran) jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, cancer primer dan striktur. Diantara beberapa faktor diatas, maka yang paling sering ditemukan dan kuat dugaannya sebagai penyabab adalah faktor penyumbatan oleh tinja/feces dan hyperplasia jaringan limfoid. Penyumbatan atau pembesaran inilah yang menjadi media bagi bakteri untuk berkembang biak. Perlu diketahui bahwa dalam tinja/feces manusia sangat mungkin sekali telah tercemari oleh bakteri/kuman Escherichia Coli, inilah yang sering kali mengakibatkan infeksi yang berakibat pada peradangan usus buntu.
Makan cabai bersama bijinya atau jambu klutuk beserta bijinya sering kali tak tercerna dalam tinja dan menyelinap kesaluran appendiks sebagai benda asin, Begitu pula terjadinya pengerasan tinja/feces (konstipasi) dalam waktu lama sangat mungkin ada bagiannya yang terselip masuk kesaluran appendiks yang pada akhirnya menjadi media kuman/bakteri bersarang dan berkembang biak sebagai infeksi yang menimbulkan peradangan usus buntu tersebut.
Pembedahan segera dilakukan, untuk mencegah terjadinya ruptur (peca), terbentuknya abses atau peradangan pada selaput rongga perut (peritonitis).
Pada hampir 15% pembedahan usus buntu, usus buntunya ditemukan normal. Tetapi penundaan pembedahan sampai ditemukan penyebab nyeri perutnya, dapat berakibat fatal. Usus buntu yang terinfeksi bisa pecah dalam waktu kurang dari 24 jam setelah gejalanya timbul. Bahkan meskipun apendisitis bukan penyebabnya, usus buntu tetap diangkat. Lalu dokter bedah akan memeriksa perut dan mencoba menentukan penyebab nyeri yang sebenarnya. Pembedahan yang segera dilakukan bisa mengurangi angka kematian pada apendisitis. Penderita dapat pulang dari rumah sakit dalam waktu 2-3 hari dan penyembuhan biasanya cepat dan sempurna. Usus buntu yang pecah, prognosisnya lebih serius. 50 tahun yang lalu, kasus yang ruptur sering berakhir fatal. Dengan pemberian antibiotik, angka kematian mendekati nol.(medicastore)
Dari fakta diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat asuhan keperawatan pada klien dengan kasus apendiksitis.






1.2        Tujuan penulisan
1.2.1        Tujuan umum
Mengetahui asuhan keperawatan klien dengan apendiksitis
1.2.2        Tujuan khusus
a.       Melakukan pengkajian keperawatan pada dengan  Appendiksitis.
b.      Merumuskan diagnosa keperawatan yang tepat pada klien dengan Appendiksitis.
c.       Menetapkan perencanaan keperawatan pada klien dengan Appendiksitis.
d.      Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan Appendiksitis.
e.       Melakukan evaluasi tindakan keperawatan yang telah dilakukan pada klien dengan Appendiksitis.

1.3        Manfaat penulisan
a.       Bagi institusi
1.      Menghasilkan lulusan DIII Keperawatan yang mampu menjalankan tugas dan kewajiban sesuai dengan kompetensi dan moral yang berlaku
2.      Menghasilkan lulusan DII Keperawatan yang mampu menjalankan asuhan keperawatan dengan tanggungjawab sesuai ketentuan.
b.      Bagi rumah sakit
Memberikan penanganan yang baik dan benar pada klien dengan apendiksitis.
c.       Bagi masyarakat
Memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang bagaimana cara mengatasi masalah appendiks

1.4       Sistematika penulisan
Penyusunan makalah ini terdiri dari 3 bab dengan urutan sebagai berikut :
Bab I     : pendahuluan terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, manfaat penulisan       dan sistematika penulisan
Bab II      : tinjauan pustaka terdiri dari konsep dasar apendiksitis dan konsep dasar asuhan keperawatan apendiksitis.
Bab III                : penutup terdiri dari kesimpulan dan saran.



























BAB 2
Tinjuan Pustaka

A.    Konsep Dasar Apendiksitis
1.      Pengertian
Appendiks merupakan suatu bagian sepertoi kantong yang non fungsional dan terletak di bagian inferior seikum (smeltzer, 2002).
Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tapi banyak kasus memerlukan laparatomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi bila tidak di terawat, angka kematian cukup tinggi, di karenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur (Anonim, Apendisitis,2007).
 Apendiksitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing (apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi bertambah parah, usus buntu itu bisa pecah. Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum. Usus buntu besarnya sebesar kelingking tangan dan terletak di perut kanan bawah. Strukturnya seperti bagian usus lainnya. Namun lendirnya banyak mengandung kelenjar yang senantiasa mengeluarkan lender (Anonim, apendisitis, 2007).
2.      Anatomi dan fisiologi
Saluran pencernaan berfungsi sebagai penerima makanan dan mempersiapkan untuk diasimilasi oleh tubuh . Saluran pencernaan terdiri atas: mulut, faring, oesofagus, lambung, dan usus halus yang terdiri dari duedonum, yeyunum dan ileum, usus besar : seikum, appendiks, colon desenden , colon tranversum, colon sigmoid, rectum, anus .

a.                  Anatomi Apendiks
Merupakan organ berbentuk tabing, kurang lebih 10 cm dan berpangkal diseikum lumennya sempit dibagian proximal dan melebar dibagian distal apendiks dilapisi oleh lapisan sub mukosa yang mengandung banyak jaringan limfe .
Apendiks diperdarahi oleh arteri apendikular . Pada posisinya yang normal apendiks terletak pada dinding abdomen dibawah titik Mc Burney.
b.                  Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke seikum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis.
Immunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT ( Gut Associated Lymphoid Tissue ) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks , ialah IgA immunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh.
                                      
3.      Etiologi
a.    Fekalit
b.   Streptococcus
c.    Cacing ascariasis
d.   Hyperplasia jaringan limfe
e.    Trauma daerah abdomen
f.    Adanya fekalit dalam lumen appendiks karena penyumbatan feces, lumen melebar dan mengadakan perangsangan terhadap pembuluh darah.

4.      Tanda dan gejala
Gejala klinis pada appendisitis adalah nyeri perut. Pada mulanya nyeri perut ini hilang timbul seperti kolik dan terasa disekitar umbilicus, bila penderita platus atau BAB rasa sakitnya akan berkurang, bila proses radang telah menjalar ke peritonium parietal setempat, maka akan timbul nyeri local pada perut kanan bawah daerah Mc Burney bila terjadi perforasi untuk sementara rasa sakit ynag hebat diseluruh perut. Anoreksi hampir selalu terdapat dan muntah merupakan hal yang khas.
Biasanya terjadi konstipasi tetapi pada anak-anak dan pada penderita yang appendiks dekat rectum sering terjadi diare. Gejala umum lainnya adalah demam mula-mula demam tidak begitu tinggi tetapi menjadi hiperpireksi bila terjadi perforasi.

5.                              Patofisiologi

-                      Fekalit
-                      Streptococcus
-                      Cacing ascariasis
-                      Hyperplasia jaringan limfe








Peningkatan tekanan intra abdomen



Fekalit


 
Kurang terpaparnya informasi


Sumber informasi kurang



Tekanan pada area lambung


 


Merangsang nervus X (vagus)


 


Modula oblongata (trigerson)


 


Mual muntah












Text Box: Nutrisi kurang dari kebutuhan






 












Merangsang RAS


 


Otak siaga


 


sadar


 





Obstruksi lumen      appendiks


 
Bendungan mucus

Peningkatantekanan intra lumen


 
Aliran limfe terhambat


 


Edema diapedesis bakteri dan ulserasi mukosa







Text Box: Apendiksitis


 



Menstimulasi substansi B,P,L,H


 
Menstimulasi nosiseptor


 
Transmisi

Modulasi

Persepsi


 





Text Box: Intoleransi aktivitas

























Menekan syaraf motorik


 
Kelemahan fisik



       Salah interpretasi informasi
     



 




Stress meningkat
 


Kurang support orang terdekat
 


Koping tidak efektif








 










Terputusnya kontuinitas jaringan



Text Box: Resiko tinggi infeksi


6.      Klasifikasi
Appendisitis dibagi menjadi beberapa klasifikasi yaitu :
a.       Appendisitis akut : yaitu peradangan yang terjadi pada umbai cacing secara mendadak dan meluas melalui peritoneum parietal sehingga timbul rasa sakit yang mendadak.
b.      Appendisitis infiltrat peradangan umbai cacing yang melekat pada dinding perut.
c.       Appendisitis kronis peradangan appendiks yang terjadi secara menahun yang merupakan kelanjutan appendiks infiltrat yang tidak mendapat pengobatan dan perawatan intensif sehingga gejalanya menghilang dan suatu saat akan timbul lagi gejala tersebut.
d.      Appendisitis abses yaitu kelanjutan dari appendicitis kronis yang kurang perawatannya dan  kuman cukup ganas sehingga menimbulkan abses. 

7.Komplikasi
Komplikasi apendiksitis adalah sepsis yang dapat berkembang menjadi : perforasi, abses, peritonitis. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah nyeri. Gejala nyeri antara lain demam suhu 37,50C–38,50C atau lebih tinggi, penampilan toksik, meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi ileus, demam, malaise, dan lekositosis. (Seymour, 2003).

8.   Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan darah rutin akan menunjukan lekostosis ringan dan hitung jenis bergeser kekiri pada perforasi terjadi lekositosis yang lebih tinggi.
Pemeriksaan urine penting untuk membedakan appendicitis dengan kelainan ginjal, kadang-kadang ditemukan lekosit pada urine penderita appendicitis.
Pemeriksaan photo polos abdomen tidak menunjukan tanda pasti appendicitis tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan appendicitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan. Adanya fekolit merupakan hal ini sangat jarang ditemukan udara dibawah diafragma menunjukan adanya perforaasi.

9.Penatalaksanaan
a.    Appendisitis infiltrat.
·   Ukuran kurang dari 5 cm : operasi
·   Ukuran lebih dari 5 cm : konservatif (terapi obat – obatan )
b.   Appendisitis akut :Appendektomi.
c.    Appendisitis perforasi :appendektomi perlaparatomi.
                        Penatalaksanaan Appendektomi.
1)      Tindakan pre operative
Penderita dirawat, diberikan antibiotik dan kompres untuk menurunkan suhu badan penderita. Bilas terlihat adanya gangguan keseimbangan cairan maka segera diberikan cairan parenteral Nacl 0,9 % sesuai dengan keadaan hidrasi, berikan sedatif intramuskular. Daerah perut bawah dan pubis dibersihkan dan dicukur. Premedikasi diberikan 30 menit sebelum rencana dioperasi dilakukan diberikan petidin, sulfas atropin dan DBP.
2)      Tindakan operatif Appendektomi.
3)      Tindakan post operatif.
Observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan didalam. Syok hyperemi dan gangguan pernapasan angkat sonde lambung bila penderita telah sadar sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Kemudian baringkan penderita pada posisi fowler penderita dapat dikatakan baik bila dalam 2 jam tidak terjadi gangguan dan selama itu pasien puasa bila tindakan operasi besar yaitu perforasi atau peritonitis umum maka puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal, kemudian berikan  minum mulai 15 ml/ jam selama 4-5 jam lalu naikan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya diberikan makanan saring dan berikutnya makanan lunak. Satu hari pasca bedah penderita dianjuran untuk duduk tegak ditempat selama 2 x 30 menit. Hari kedua pasca bedah dapat berdiri dan duduk diluar kamar hari ketujuh pasca bedah luka operasi dapat di angka dan penderita boleh pulang.
Merawat luka post  appendektomi dengan tehnik aseptik dan anti septic untuk mencegah terjadinya infeksi.

10.        Prognosis
Apendiktomi yang dilakukan sebelum perforasi prognosisnya baik. Kematian dapat terjadi pada beberapa kasus. Setelah operasi masih dapat terjadi infeksi pada 30% kasus apendiks perforasi atau apendiks gangrenosa

B.     Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Proses keperawatan merupakan kerangka kerja perawat saat memberikan asuhan keperawatan pada pasien. Proses keperawatan merupakan pendekatan kerja yang sistematis terorganisasi, fleksibel dan berkelanjutan. Tahap – tahap dalam proses keperawatan saling ketergantungan satu dengan lainnya dan bersifat dinamis dan disusun secara sisematis untuk menggambarkan  perkembangan dari tahap yang satu ketahap yang lain.

1.      Pengkajian
Pengkajian adalah  pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data baik subyek maupun obyek, adapun tujuan pengkajian adalah  memberikan gambaran yang terus menerus mengenai kesehatan pasien.
Pada tahap pengkajian ini ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan antara lain :
a.    Mengumpulkan tentang data pasien
Data dasar adalah data yang menyangkut semua aspek dari pasien yang terdiri dari data – data biografi, keluhan utama, riwayat sebelum sakit, riwayat penyakit sekarang, riwayat kesehatan keluarga, riwayat kesehatan lingkungan keadaan psiksosisal dan aspek spiritual biasanya data dasar ini diperoleh pada saat pertama kali perawat kontak dengan  pasien. Sedangkan data yang difokuskan kepada pasien masalah kesehatan pada saat itu adalah:
1)                                                Aktivitas / istirahat dengan gejala malaise.
2)                                                Sirkulasi darah memperlihatkan tanda takikardi.
3)      Eliminasi dengan gejala konstipasi pada awitan awal, diare (kadang-kadang) serta tanda distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan/tidak ada bising usus.
4)      Integritas ego dengan gejala perasan cemas, takut marah, apatis, faktor-faktor stress multiple , misalnya finansial, hubungan gaya hidup , disertai dengan  tanda tidak dapat beristirahat, peningkatan ketegangan peka rangsang, stimulai simpatis.
5)      Makanan / cairan anoreksia , mual/muntah.
6)      Nyeri / kenyamanan dengan gejala nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc Burney ( setengah jarak antara umbilicus dengan tulang ileum kanan ) meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam ( nyeri tiba-tiba diduga perforasi atau infark pada appendisitis ). Kalau berbagai rasa nyeri / gejala tak jelas ( sehubungan dengan lokasi appendiks, contoh retrosekal atau sebelah ureter ) dengan perilaku berhati-hati berbaring kesamping atau terlentang dengan lutut ditekuk meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/ posisi duduk tegak, nyeri lepas pada sisi kiri di duga inflamasi peritoneal.
7)      Keamanan tandanya demam biasanya rendah. Pernafasan tandanya takipnea, pernapasan dangkal.
8)      Penyuluhan atau pembelajaran riwayat kondisi lain yang berhubungan dengan nyeri abdomen contoh pielitis acut batu uretra, salpingitis acut,ileitis regional.
2.      Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan didapat setelah data-data yang terkumpul dianalisa, diagnosa keperawatan pada dasarnya adalah kesimpulan dari masalah kesehatan yang dialami klien. Diagnosa keperawatan merupakan uraian atau penafsiran tentang masalah kesehatan dimana perawat dapat menanganinya dalam bentuk tindakan kepeawatan yang ditujukan untuk mencegah, mengatasi atau mengurangi masalah tersebut.
Diagnosa keperawatan menurut NANDA, 2012-2014 yang mungkin muncul pada klien dengan appendiksitis adalah:
a.  Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis
b. mobilitas fisik, hambatan berhubungan dengan nyeri
c. defisiensi pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif
d. Insomnia berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik ( nyeri )
diagnose yang muncul dengan ksus appendiks menurut rumusan diagnose NANDA antara lain :
a.       Pre operasi
1.      Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit.
2.      Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,muntah.
b.      Post operasi
1.      Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera.
2.      Resiko kehilangan volume cairan berhubunmgan dengan asupan cairan yang tidak adekuat.
3.      Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
4.      Insomnia berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik
5.      Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif

4.      Perencanaan keperawatan
Pre Operasi
No
Diagnosa
Tujuan dan criteria hasil
Intervensi
1.






























2.
Nyeri akut






























Nutrisi, ketidakseimbangan : kurang dari kebutuhan tubuh
Klien akan dapat melaporkan nyeri berkurang dalam waktu 3 jam dengan criteria hasil :
-          Klien mengeluh nyeri jarang
-          Skala nyeri 4
-          Rileks
-          Selera makan normal
-          Tidak ada bukti nyeri yang diamati
-          Dapat melakukan teknik relaksasi nafas dalam














Klien akan dapat melaporkan asupan makanan dan cairan adekuat dengan criteria hasil :
-          Berat badan meningkat 1 kg
-          Komponen gizi adekuat
-          Menoleransi diet-diet yang dianjurkan








1.         Minta klien untuk menilai nyeri atau ketidaknyamanan pada skala 0 – 10
2.         Gunakan bagan alir nyeri untuk memantau peredaan nyeri oleh analgesic dan kemungkinan efek sampingnya.
3.      Kaji dampak agama, budaya, kepercayaan, dan lingkungan terhadap nyeri dan respon klien
4.      Dalam mengkaji nyeri klien, gunakan kata-kata yang sesuai dengan usia dan tingkat perkembangan pasien.
5.      Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan strategi koping yang disarankan.
6.      Pemberian analgesic : menggunakan agen-agen farmakologi untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri

1.     Identifikasi factor pencetus mual dan muntah
2.     Catat warna, jumlah, dan frekuensi muntah
3.     Instruksikan pasien agar menarik napas dalam perlahan dan menelan secara sadar untuk mengurangi mual dan muntah
4.     Tawarkan hygiene mulut sebelum makan
5.     Berikan obat anti emetic dan / analgesic sebelum makan atau sesuai dengan jadwal yang dianjurkan

Post Operasi
No.
Diagnose keperawatan
Tujuan dan criteria hasil
intervensi
1.































2


























3.
































4.


Nyeri akut































Mobilitas fisik, hambatan

























Defisiensi pengutahuan































Insomnia
Klien akan dapat melaporkan nyeri berkurang dalam waktu 3 jam dengan criteria hasil :
-          Klien mengeluh nyeri jarang
-          Skala nyeri 4
-          Rileks
-          Selera makan normal
-          Tidak ada bukti nyeri yang diamati
-          Dapat melakukan teknik relaksasi nafas dalam

















Klien akan dapat melaporkan tidak mengalami gangguan dalam waktu 2 x 24 jam dengan criteria hasil :
-          Tidak mengalami gangguan sendi dan otot
-          Bisa berjalan
-          Bisa bergerak dengan mudah
















Klien akan dapat melaporkan deskripsi rasional untuk apendiks dalam waktu 2 jam dengan criteria  hasil :
-               Klien dan keluarga dapat mengidentifikasikan kebutuhan informasi tambahan tentang program terapi
-               Memperlihatkan kemampuan menjelaskan kembali materi yang telah disampaikan

















Klien akan dapat melaporkan kualitas tidur tidak terganggu dalam waktu 1  x 24 jam dengan criteria hasil :
-               Jumlah jam tidur setidaknya 5 jam/24 jam
-                Perasaan segar setelah tidur
-                Terbangun di waktu yang sesuai
7.         Minta klien untuk menilai nyeri atau ketidaknyamanan pada skala 0 – 10
8.         Gunakan bagan alir nyeri untuk memantau peredaan nyeri oleh analgesic dan kemungkinan efek sampingnya.
9.      Kaji dampak agama, budaya, kepercayaan, dan lingkungan terhadap nyeri dan respon klien
10.  Dalam mengkaji nyeri klien, gunakan kata-kata yang sesuai dengan usia dan tingkat perkembangan pasien.
11.  Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan strategi koping yang disarankan.
12.  Pemberian analgesic : menggunakan agen-agen farmakologi untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri

1.               Kaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan kesehatan di rumah dan kebutuhan terhadap peralatan pengobatan yang tahan lama
2.               Ajarkan klien tentang dan pantau penggunaan alat bantu mobilitas ( misalnya tongkat, walker, kruk atau kursi roda )
3.               Ajarkan dan bantu pasien dan proses berpindah ( misalnya dari tempat tidur ke kursi )
4.               Rujuk ke ahli terapi fisik untuk program latihan
5.               Berikan penguatan positif selama aktifitas
6.               Bantu pasien untuk menggunakan alas kaki anti selip yang mendukung untuk berjalan

1.               Periksa keakuratan umpan balik untuk memastikan bahwa pasien memahami program terapi dan informasi lainnya yang relevan
2.               Penyuluhan individual : tentukan kebutuhan belajar pasien, lakukan penilaian terhadap tingkat pengetahuan pasien saat ini dan pemahaman terhadap materi
3.               Kaji daya belajar pasien
4.               Beri penyuluhan sesuai dengan tingkat pemahaman pasien, ulangi informasi bila diperlukan
5.               Gunakan berbagai pendekatan penyuluhan, redemonstrasi, dan berkaitan umpan balik secara verbal dan tertulis
6.               Beri informasi tentang sumber-sumber komunitas yang dapat menolong pasien dalam mempertahankan program terapi

1.               Tentukan efek samping pengobatan terhadap pola tidur pasien
2.               Pantau pola tidur pasien dan catat hubungan factor-faktor fisik ( misalnya : nyeri/ketidaknyamanan dan berkemih )
3.               Anjurkan klien untuk membatasi asupan cairan di sore hari untuk menurunkan kemungkinan terbangun di malm hari karena ingin berkemih
4.               Bantu klien untuk memilih aktifitas fisik dan social di siang hari yang sesuai dengan kemampuan fungsionalnya ( misalnya berjalan )
5.               Gunakan lampu malam hari untuk keamanan pasien
6.               Pertimbangkan menggunakan pispot di samping tempat tidur untuk digunakan di malam hari meskipun tidak digunakan di siang hari

5.      Pelaksanaan
Pelaksanaan tindakan keperawatan pada pasien post operasi appendicitis mengacu pada rencana keperawatan yang sesuai dengan teori Doenges , ME meliputi : mempertahankan istirahat, mendorong ambulasi dini, memberikan intake cairan adekuat, mempertahankan keseimbangan cairan, memberikan informasi tentang prosedur pembedahan/prognosis, kebutuhan pengobatan dan potensial komplikasi, memberikan dukungan dan support, melakukan pencucian tangan yang baik, melakukan perawatan luka secara aseptic dan antiseptik.
Pada tahap pelaksanaan yang dilakukan adalah melaksanakan tindakan – tindakan keperawatan yang telah direncanakan dan dianjurkan dengan pendokumentasian semua tindakan yang telah dilakukan.

5.   Evaluasi
Fase akhir dari proses keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan keperawatan yang diberikan. Evaluasi asuhan keperawatan adalah tahap akhir dari keseluruhan tindakan keperawatan yang telah dilakukan. Hasil akhir yang diharapkan dari perawatan pasien post operasi appendisitis adalah komplikasi dapat dicegah / minimal, nyeri terkontrol , prosedur bedah/prognosis, program terapi dapat dipahami, kecemasan pada pasien / keluarga dapat berkurang /teratasi, tidak terjadi inekfsi/keseimbangan cairan dan elektrolit dapat dipertahankan
Evaluasi ini bersifat formatif, yaitu evaluasi yang dilakukan secara terus menerus untuk menilai hasil tindakan yang dilakukan disebut juga evaluasi tujuan jangka pendek. Dapat pula bersifat sumatif yaitu evaluasi yang dilakukan sekaligus pada akhir semua tindakan yang dilakukan sekaligus disebut juga mengevaluasi tujuan jangka panjang





             BAB 3
            Penutup

3.1       Kesimpulan
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000).
Pengkajian pada klien dengan apendiksitis diantaranya adalah sebagai berikut Aktivitas / istirahat dengan gejala malaise, Sirkulasi darah memperlihatkan tanda takikardi, Eliminasi dengan gejala konstipasi pada awitan awal, diare (kadang-kadang) serta tanda distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan/tidak ada bising usus, Integritas ego dengan gejala perasan cemas, takut marah, apatis, faktor-faktor stress multiple , misalnya finansial, hubungan gaya hidup , disertai dengan  tanda tidak dapat beristirahat, peningkatan ketegangan peka rangsang, stimulai simpatis, Makanan / cairan anoreksia , mual/muntah.
Terdapat 4 diagnosa keperawatan pada klien dengan apendiksitis diantaranya adalah sebagai berikut : .  Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis, mobilitas fisik, hambatan berhubungan dengan nyeri, defisiensi pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, Insomnia berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik ( nyeri ).
Perencanaan dibuat sesuai dengan diagnose yang telah ditentukan yang berdasarkan nic dan noc
Pelaksanaan tindakan keperawatan pada pasien post operasi appendicitis mengacu pada rencana keperawatan yang sesuai dengan teori Doenges , ME meliputi : mempertahankan istirahat, mendorong ambulasi dini, memberikan intake cairan adekuat, mempertahankan keseimbangan cairan, memberikan informasi tentang prosedur pembedahan/prognosis, kebutuhan pengobatan dan potensial komplikasi, memberikan dukungan dan support, melakukan pencucian tangan yang baik, melakukan perawatan luka secara aseptic dan antiseptik.
Pada tahap pelaksanaan yang dilakukan adalah melaksanakan tindakan – tindakan keperawatan yang telah direncanakan dan dianjurkan dengan pendokumentasian semua tindakan yang telah dilakukan.
Evaluasi merupakan akhir dari proses keperawatan. Evaluasi asuhan keperawatan adalah tahap akhir dari keseluruhan tindakan keperawatan yang telah dilakukan. Hasil akhir yang diharapkan dari perawatan pasien post operasi appendisitis adalah komplikasi dapat dicegah / minimal, nyeri terkontrol , prosedur bedah/prognosis, program terapi dapat dipahami, kecemasan pada pasien / keluarga dapat berkurang /teratasi, tidak terjadi inekfsi/keseimbangan cairan dan elektrolit dapat dipertahankan

3.2              Saran – saran

1.                  Penulisan makalah ini dapat menjadi acuan dalam meningkatkan IPTEK Khususnya dalam dalam bidang keperawatan.
2.                  Diharapkan petugas pelayanan kesehatan dapat memberikan asuhan keperawatan sebaik–baiknya kepada klien dan dapat mengaplikasikan asuhan keperawatan sesuai dengan Standar Asuhan Keperawatan.
3.                  Diharapkan klien maupun keluarga dapat menerapkan Asuhan keperawatan yang telah diberikan sehingga dapat meningkatkan taraf hidup lebih sehat dan lebih optimal.











DAFTAR PUSTAKA

Wikinson, Judith M, 2012, Buku saku Diagnosa Keperawatan edisi 9,  EGC, Jakarta

 Linda Juan,  2000, Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, Jakarta
.
Doenges, Marlynn, E, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan Edisi III, EGC, Jakarta.

Betz, Cecily L, dkk. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri, Edisi 3. Jakarta: EGC

 www. harnawatiarjwordpress.com diakses tanggal 15 November 2012

Syamsuhidayat. R & De Jong W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2 .Jakarta : EGC.